18-19 Jan 2013
Begitu orang megatakannya.
Berlabel sebagai minitatur Mahameru, Gunung Penanggungan mempunyai hamparan
permadani yang tidak kalah menawan dengan gunung tertinggi se-Jawa itu.
Sebenarnya bukan suatu kesengejaan bagi kami tim ULO untuk mendaki gunung yang
mempunyai ketinggian 1600mdpl ini. Bermula dari film yang saat itu menjadi “trending topik world wide” yaitu 5cm
yang menampilkan keelokan Ranukumbolo (Surga dari Mahameru), kami pun
berkeinginan untuk menuju kesana. Dengan segala persiapan, H-3 minggu kami
sudah melist barang bawaan apa saja yang diperlukan untuk dibawa, serta apa
saja yang harus ditaati bagi para pendaki. Awalnya berjalan rapi saat kami
ber-18 saat itu membuat sebuah rencana perjalanan panjang mendaki Ranukumbolo
dalam sebuah angan yang terbesit dari masing-masing impian kami. Sebuah danau
yang memancarkan sinar siluet saat
sunrise tiba dan memberikan kehangatan bagi dedaunan yang terbasahi oleh embun
sebelumnya. Sebuah panoroma takjub yang selalu terlintas saat pertama kali
menginjakkan kaki pada jalan setapak waturejeng. Ranukumbolo memberikan sebuah
harapan bagi kami untuk menuju kesana. Sampai pada akhirnya pada tengah malam
saya mendapat telfon dari Yuris bahwa Ranukumbolo ditutup. Sial bagi kami,
setelah merencanakan begitu panjang dan matang ternyata sia-sia. Nisa orang
yang paling kecewa saat itu. Dan saya berinisiatif untuk mengalihkan perjalanan
kami ke Gunung Penanggungan, yaa….lumayan lah sebagai obat pelipur lara. Tidak
banyak yang tertarik untuk mendaki kesana, tetapi karena memang hanya itu salah
satu jalur pendakian yang dibuka, dan akhirnya kami bersepakat untuk menuju
kesana.
Kami pun pindah haluan untuk
sedikit membelokkan rencana kami ke Gunung Penanggungan, persiapan yang
dilakukan juga hampir selesai. Hanya menunggu konfirmasi dari pihak yang
terkait untuk masalah persewaan peralatan mendaki. Okeee….singkat cerita H-1
sudah tiba. Inilah 17 orang yang akan melakukan pendakian : Yuris, Leo, Julian(Lee),
Pak Teguh, Hakam, Wahyu, Dhores, Ayu, Dhani, Chairul(Icung), Erfan (Robet),
Suci, Maya, Tara, Nisa, Linggar, dan saya sendiri (Caesar).
Setelah menunaikan ibadah shalat
Jum’at, kami bertujuh (saya, yuris, robet, icung, lee, dhores, hakam) berangkat
ke PlayGame untuk mengambil peralatan yang sudah kami pesan sebelumnya. Lumayan
lah untuk 17 orang terasa sangat berat sekali barang bawaan itu. Setelah itu
kami bergegas ke puncak jaya untuk
mengambil tenda. Dan setelah peralatan mendaki terkumpul semua, kami segera
mengemas barang yang besok akan dibawa untuk pendakian. Waktunya untuk
istirahat… -,-“
Lantunan adzan shubuh
membangunkanku untuk segera terperanjak dan mengambil air wudhlu. Semua telah
siap tinggal menunggu teman-teman untuk segera berangkat dari kontrakan. Semua
berkumpul dan dengan berdoa sebelumnya Tim Ulo pun berangkat. Capcuz…..
Singkat cerita, pada pukul 14.00
kami tiba di Trawas, yaitu jalur pendakian ke Penanggungan. Kami beristirahat
sebentar disana untuk sedikit mencairkan suasana dan bercengkerama dengan
sesama.
Setelah beberapa menit kami
beristirahat, akhirnya dengan diawali doa Tim Ulo pun tracking(istilah bagi para pendaki untuk memulai perjalanan
puncak). Awalnya berjalan dengan lancar-lancar saja karena jalur yang ditempuh
di awal tidak terlalu menanjak, Penanggungan hanya memberikan salam kecil dari
balik awan sana. Tak lama kemudian di tengah perjalanan kami rehat untuk
mengisi perut yang tengah keroncongan. Kebetulan dibawah tadi kami membeli
makanan untuk bekal perjalanan. Dan inilah suasana romantis saat kami memakan
bekal kami, sederhana tapi nikmat sekali.
Hahahaha…. Mesra sekali dua
manusia ini. Cukup untuk makan, kami melanjutkan perjalanan kembali. Tidak ada
yang begitu sulit bagi kami awalnya, jalur terkesan bukan jalur pendakian tapi
hanya jalur setapak yang digunakan penduduk untuk mengangkut kayu bakar yang
mereka cari ditengah hutan. Sampai pada akhirnya kami menemui persimpangan yang
awalnya membuat kami bingung untuk memilih jalur mana yang akan dilewati, tapi
ternyata telah ada petunjuk arah disana. Yuhuu… inilah pendakian sebenarnya
dimulai. Belum beberapa menit kami berjalan, tidak sedikit yang mengeluh dan
kaget dengan jalur yang ditempuh. Tapi untuk kami yang pernah mendaki
sebelumnya, It’s not problem :D . Permasalahannya adalah bagaimana kita
dituntut untuk sedikit merendahkan ego kita dan menolong orang yang tidak bisa
mengikuti kita. Kami diuji untuk masalah ini. Bayangkan, pendakian dilakukan
oleh 17 orang dengan latar belakang dari kami yang berbeda-beda baik dari segi
mental maupun fisik. Kami harus bekerjasama sebagai sebuah tim. Dituntut
kedewasaan dari kita untuk saling memahami dan mengerti satu sama lain supaya
pendakian tetap berjalan dengan lancar. Masalah itu pun tiba, dua teman kami
yaitu tara dan nisa tertunduk lesu dan mukanya memerah karena mungkin terlalu
capek. Nisa pun mengeluh dia mempunyai penyakit asma. Oh my god ini bukan
kondisi yang baik bagi kami, kami pun lupa membawa oksigen untuk P3K. Bagaimana
kami harus merawat dua teman kami ini? “Ini baru berjalan beberapa langkah saja
mamen”. Lagi-lagi pernyataan itu yang menggeliat dalam pikiran kami. Sesegera
mungkin kami tersadar bahwa, di gunung semuanya saudara. Tidak ada yang namanya
senior-junior, pernah mendaki-belum pernah mendaki. Akhirnya bersama-sama kami
beristirahat dan merawat mereka. So Sweett……
Oke nisa..tara kalian
siap???Let’s go.
Kata-kata itu yang selalu kami
suarakan untuk selalu menyemangati mereka. Hakam tidak berhenti untuk
memberikan “hiburan” kepada kami. Terimakasih kamu telah menemani kesepian
kami. Ooowww…. (pongor manja). Hahaha…. Kasihan sekali manusia itu selalu
menjadi bahan tertawaan anak-anak. Bukan hanya tara dan nisa yang mempunyai
penyakit. Laki-laki dari kami pun mempunyai penyakit, ya sepanjang perjalanan
kami terhibur oleh suara gaib yang muncul dari knalpot masing-masing orang.
Mungkin untuk masalah “Kentut Award” pemenangnya hanya ada dua, kalau bukan Leo
berarti Lee. Suatu saat bumi akan mengalami 3 kali lipat Global Warming gara-gara
pembuangan gas dari manusia-manusia seperti kami. Tapi kami selalu beralibi
kalau di Gunung tidak ada Rumah Sakit, butuh 5 juta rupiah untuk mengobati
apabila tidak dikeluarkan. Mungkin itu alasan terlogis untuk situasi seperti
ini. DILARANG PROTES…..!!!!!!!
Tidak terasa perjalanan sudah
dilalui sekitar 2 jam. Mendung tebal turun dari arah barat, kelihatannya hujan
akan turun. Belum sampai kami berjalan beberapa langkah akhirnya tetesan air
muncul dari langit, kami pun bergegas untuk segera memakai mantel yang sudah
kami persiapkan sebelumnya. Gerimis itu seolah hanya memberikan sinyal kepada
kami untuk berhati-hati saja, karena tak sampai beberapa menit gerimis itu
meninggalkan kami. Kami mencopot mantel kami masing-masing dan sesegera mungkin
melanjutkan perjalanan karena mengingat langit sudah mulai gelap. Payah sekali
bagiku, yuris, dan hakam. Kami bertiga membawa carrier dan tas dari teman kami
yang sakit. Memang jalur yang dilalui tidak begitu terjal menurut kami, tetapi
dua tas depan-belakang ini membuat kami merasa seperti Sherpa dari Tibet yang membawakan logistic dari pendaki Mount
Everest. Agak lebay tapi memang itu kenyataannya. Kami menikmatinya dengan
sedikit menengok ke belakang dimana ada dua gunung berjejer dengan gagahnya.
Ya, pemandangan Arjuno-Welirang selalu memompa semangat kami untuk segera naik
ke atas supaya terlihat lebih jelas lagi.
Dalam perjalanan ke atas yuris
merasa kram pada kaki sebelah kanannya, dhores pun dengan sigap segera membawa
carrier yang dibawa yuris dan dibawanya ke atas. Kami pun sampai pada pelataran
luas yang mengharuskan kami untuk menginap disana. Kami semua mendirikan tenda.
Dan ujian itu muncul lagi. Belum selesai kami membangun tenda, hujan deras
disertai angin pun tiba. Dengan segera kami memasukkan barang bawaan ke dalam
tenda yang sudah berdiri dan kami ikut masuk ke dalamnya. Sembari menunggu
hujan reda, para lelaki pun dengan memakai mantel mendirikan tenda yang belum
berdiri. Beberapa menit hujan itu turun, dan akhirnya reda juga walaupun masih
gerimis. Kami sesegera mungkin untuk memasuki tenda kami masing-masing. Angin
yang berhembus di Penanggungan sangat kencang, memaksa kami untuk memakai jaket
yang tebal dan menghangatkan diri di tenda sembari ditemani beberapa batang
rokok untuk penghangat. Tidak terasa waktu menunjukkan pukul 20.00 saat hujan
mulai reda dan menyisakan dedaunan basah. Angin tetap berhembus dengan kencang.
Lagi-lagi nisa dan tara mengeluhkan sakitnya. Kamipun merawat teman kami yang
sedang payah ini. Setelah semuanya dirasa aman, kami kembali ke tenda
masing-masing. Akhirnya kami bisa tertidur pulas dalam kondisi dingin.
Tepat pukul 00.00 terdengar
celotehan Madura yang keras saat itu, teman kami dari Madura (yuris dan leo)
terbangun dari mimpi basahnya (jangan salah artikan, maksudnya mimpi dalam
keadaan basah). Kami pun terbangun semuanya. Dan setelah itu kami mencoba untuk
menghangatkan diri dengan nesting dan perapian yang kami buat. Kami memasak mie
dan bakso juga menyeduh kopi yang kami bawa dari Surabaya. Hangat sekali rasanya
ditemani lagu dari Sheila On 7 “Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan” dan
temerang lampu dari bawah, mungkin itu kota Surabaya atau Pasuruan. Kami
bercengkerama satu sama lain sembari menikmati masakan yang kami buat.
Sampai pada akhirnya angin Penanggungan
itu berhembus kembali dengan kencangnya memaksa kami untuk kembali ke tenda
masing-masing. Lagi-lagi kami tertidur dalam dinginnya angin Penanggungan.
Tetapi saat itu tenda menjadi sebuah surga bagi kami karena sedikit memberi
kehangatan bagi kami. Mata kami tertutup dengan sendirinya.
Mata kami terbuka dan melihat
langit-langit tenda yang basah tertinggal embun tadi malam, kami pun membuka
resleting tenda dan melihat eloknya pemandangan dari atas dan bawah. Sedikit
mengadahkan leher terlihat puncak Penanggungan yang tertutup kabut tipis.
Menurunkan leher tampak pemandangan kota yang terlihat kecil sekali. Kami pun
memutuskan untuk mengabadikan momen ini dan lagi-lagi kami memasak guna mengisi
tenaga untuk melanjutkan perjalanan ke puncak nanti.
Biilll….Sobiiillllll. Ada orang
yang memanggilku. Ternyata tetangga rumahku juga melakukan pendakian tadi
malam, mereka sampai di tempat kami pada pukul 01.00. Saya pun menghampiri
mereka untuk sedikit berbincang-bincang mengenai perjalanan kemarin. Setelah
itu saya bergabung dengan rombongan ULO. Penyakit dari yuris setiap ke gunung
selalu muncul. Dia dengan tergopoh-gopoh meminta tisu basah untuk melakukan
ritual “panggilan alam”. Bersembunyi di semak-semak rupanya dia sangat
menikmati ibadah itu.
Selang beberapa lama kemudian
kami memutuskan untuk berangkat ke puncak, tetapi nisa dan tara tinggal dalam
tenda untuk menjaga peralatan yang kami jemur karena basah. Selain itu mereka
juga harus jaga kondisi untuk turun nanti. Perjalanan ke puncak dilalui tidak
terlalu sulit, hamparan pepohonan hijau dan bebatuan menjadi tema perjalanan
kami saat itu. Tiba-tiba ditengah perjalanan suci mengalami kram pada kakinya.
Si Puskesmas berjalan (pak teguh) pun turun tangan. Beruntung sekali mengajak
beliau. Hahaha…. Bukan hanya puskesmas berjalan, beliau juga bengkel berjalan,
warung berjalan atau apalah sebutan baginya. Beliau cukup berpengalaman dalam
hal ini, pengalaman dari Lawu lebih dari cukup untuk pendakian ini.
Setelah beberapa lama kami
mendaki akhirnya puncak pun terlihat. Kami semakin mempercepat langkah supaya
segera menaklukkan gunung ini. Beberapa langkah telah dilalui dan akhirnya kami
bisa menancapkan asa kami diatas puncak Penanggungan, negeri di atas awan ini
mengobati kekecewaan kami atas Ranukumbolo. Semuanya terbayar dengan lunas
melihat pemandangan sekitar yang takjub. Sungguh Tuhan menciptakan semuanya
dengan segala keindahannya. Kami hanya perlu kaki yang berjalan lebih jauh dari
biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang lebih
sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras daripada
baja, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan
selalu berdoa.
Dan inilah kami Pendaki Ulung
yang telah menaklukkan Miniatur Puncak Abadi Para Dewa
0 komentar:
Posting Komentar